Jumat, 12 Desember 2014

Opini : Tarik Ulur Pers di Indonesia

Di indonesia setidaknya telah terjadi beberapa kali pergantian sistem pemerintahan. Mulai dari sistem pemerintahan otoriter, liberal, hingga demokrasi seperti sekarang.
Sama halnya dengan sistem pemerintahan di suatu negara. Sistem pers juga mengikuti perubahan sistem politik di suatu negara. Ada beberapa sistem pers di indonesia. Seperti sistem pers pada masa orde lama, orde baru, Reformasi, hingga sekarang. Apakah pelaksanaannya juga berbeda di setiap masa pemerintahan ? bagaimanakah sistem pers di indonesia pasca reformasi, dan sistem pers apa yang di anut ?

Era reformasi dapat di katakan awal mula kebebasan pers di indonesia. Di era ini pers secara bebas dapat memuat berita apapun tanpa harus takut lagi dengan regulasi pemerintah yang tidak memperbolehkan menerbitkan berita yang kontra terhadap keputusan pemerintah. Pasca reformasi juga departemen penerangan yang awalnya sebagai sebuah lembaga yang mengontrol pers juga telah di bubarkan. Di era ini agen pers kembali tumbuh dengan pesat di indonesai. Setelah sebelumnya banyak terjadinya pembredelan media di era orde lama dan orde baru.

Seiring dengan kebebasan pers pasca reformasi. Banyak muncul sisi positif maupun negatif dari kebebasan pers. Pemerintah tak dapat lagi mengekang banyak isi berita yang di terbitkan, masyarakat sudah dapat mengetahui keadaan yang sebenarnya terjadi. Jika sebelumnya di masa orde lama maupun orde baru masyarakat hanya mengetahui sisi baik kebijakan pemerintah saja. Jika ada media yang berani mengkritik pemerintah maka harus siap siap mendapatkan sanksi pembredelan. Bahkan tak jarang banyak wartawan yang di culik karena mencoba “menjelek – jelekkan” pemerintah. Mungkin kasus Munir lah yang paling melekat di ingatan kita. Mesti masih banyak kasus kasus lainnya yang belum terungkap.

Jika dulunya pers terikat dengan pemerintah. Tidak halnya dengan sekarang. Sekarang pers lebih bersifat indepen. Namun independen seperti apakah ? masihkah anda teringat dengan kasus Lumpur Lapindo yang terjadi di Sidoarjo ? dari media apakah anda mengetahui dan mengikuti berita tersebut ? jelas ada tingakat “indepedensi” yang mempengaruhi framing dalam berita tersebut. Jika anda penonton setia Metro Tv (Media Indonesia), mungkin anda akan lebih mengenal kejadian tersebut sebagai Lumpur Lapindo. Namun jika anda penonton Tv One (viva media) anda akan lebih mudah mengingat musibah tersebut sebagai lumpur sidoarjo. Berbeda memang, namun berita yang disajikan menggunakan angle yang berbeda. Pemberitaan yang di angkat tergantung dari media apa yang anda tonton dan siapa pemilik media tersebut. Tv one merupakan milik salah satu Konglomerat asal Indonesia yaitu Abu Rizal Bakrie, sedangkan Metro Tv dimiliki oleh pengusaha Surya Paloh. Perlu di ketahui kedua pengusaha memiliki masalah eksternal dalam hal politik. Jadi saat ini kedua media ini di gunakan untuk saling menyerang satu sama lain. Yang satunya terkadang pro terhadap pemerintah, yang satunya tidak. Dan begitulah sebaliknya.

Selain pemberitaan mengenai kasus lumpur lapindo di sidoarjo. Beberapa bulan yang lalu kita juga sering melihat adanya kepentingan suatu kelompok yang memanfaatkan pers sebagai sarana untuk mendukung bahkan menyerang kubu yang lain. Seperti media yang dimiliki oleh Abu Rizal Bakrie dan Hary Tanoe yang menduku kubu Koalisi Merah putih. Dan media yang dimiliki Surya Paloh yang mendukung koalisi Indonesia hebat. Disini jelas terlihat pers seperti dimanfaatkan untuk kepentingan kelompok yang meng atasnamakan rakyat. Pers seperti di paksa untuk memuat informasi yang diinginkan oleh pemilik dan pemegang sahamnya.

Memang pasca kebebasan pers saat ini. Pers sudah mulai kurang terkontrol seperti dulu. Banyak kita lihat berita berita yang di tayangkan sudah tidak memenuhi lagi value seperti dulu. Sering terjadi isi berita tersebut tidak kredibel dan bersifat issu. Media massa mulai digunakan sebagai senjata adu mulut antara kubu pemerintah. Tak jarang media massa sekarang sahamnya dimiliki oleh sebagian pelaku politik di indonesia. Sebut saja beberapa seperti Abu Rizal Bakrie dengan viva media nya, Surya Paloh dan Jusuf Kalla dengan Media Indonesianya. Hary Tanoe dengan MNC media. Dan masih banyak lagi.

Harus kah pers terus menerus harus mengikuti kemauan sang pemilik media ? secara kode etik tidak. Pers harus independen, netral, dan rasional dalam memberitakan apapun. Namun “se Suci” apapun pers, mereka tetap tidak bisa terlepas dari sang petinggi dan pemilik media yang menafkahi mereka. Seperti halnya menurut teori Shoemaker dan Reese (1991), setidaknya ada 5 faktor yang mempengaruhi media massa. Diantaranya adalah ; Faktor individu, Rutinitas media, Organisasi terkait, Ekstramedia, dan Ideologi suatu media.
Menurut anda. Sistem pers seperti manakah yang lebih baik dan seharusnya dipakai saat ini di indonesia? Sistem pers yang lebih otoriter agar berita berita yang diterbitkan pers lebih terkontrol tetapi pers harus mengikuti bagaimana kehendak pemerintah. Atau pers yang lebih bebas seperti saat ini. Dimana pers bisa merefleksikan realitas kepada masyarakat, tetapi rentan di gunakan untuk keperluan masing masing kelompok ?

Di era pemerintahan presiden SBY. Kita dapat melihat bagaimana bebasnya pers di indonesia. Pers bebas memberitakan apa saja mengenai pemerintahan SBY, baik urusan kepemerintahan, bahkan urusan pribadi presiden. Sampai sampai presiden sendiri sering “curhat” kepada media terhadap pemberitaan Negatif terhadapnya. Namun dampak positifnya sendiri adalah masyarakat bisa mengetahui semua kebijakan pemerintah, dan pers menjadi media informasi hingga kontrol sosial bagi publik.

Namun bagaimana pers kedepan di masa presiden Jokowi ? masih teringat dengan berita penangkapan seorang mahasiswa yang protes terhadap jokowi di media sosial ? mahasiswa itu harus berurusan dengan hukum lantaran membuat status yang menghujat pemerintahan jokowi. Apa yang dapat anda tangkap dari kejadian ini ? mungkin sedikit agak tergambar keinginan Jokowi untuk memperketat kembali pers di indonesia. Kejadian itu dilakukan sebagai pembelajaran untuk orang orang yang ingin menghujat pemerintahan jokowi. Baik masyarakat ataupun pers kedepannya agar lebih berhati hati, dan tidak seluasa seperti dulu.

Semoga kedepannya ada upaya pemerintah untuk “mengembalikan pers ke jalur yang benar”. Tetapi tetap tidak membatasi keleluasaan pers untuk tetap mengkritik pemerintah. Sehingga pers berfungsi sebagai penyeimbang dalam pemerintahan. Kebijakan yang baik di blow-up, dan kebijakan yang kontra juga di publis. Jadi masyarakat mengetahui apa yang sebenarnya terjadi, bukan apa yang sebenarnya di “setting”.

Tulisan di atas adalah bentuk opini saya pribadi yang juga merupakan tugas Mata kuliah Pers ilmu komunikasi Unsyiah. Dan tidak ada niat untuk menyudutkan pihak manapun. Jika ada kesalahan informasi saya mohon maaf dan masukannya baik dalam bentuk komentar atau kritikan di kolom komentar. Terimakasih

1 komentar:

  1. keren gan blog nya hijau hijau gini. tulisannya bagus. keep sundul gan

    BalasHapus